
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) mengajak mahasiswa untuk mengisi kesenjangan kebutuhan talenta kecerdasan artifisial (AI) di tengah perkembangan dan persaingan sektor teknologi global.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemkomdigi Bonifasius Wahyu Pudjianto menjelaskan, pemanfaatan teknologi AI saat ini sudah merambah berbagai sektor, mulai dari fitur-fitur di gawai, penerjemah bahasa, hingga diagnosis kesehatan.
“Kami menghitung kebutuhan talenta digital, khususnya lima tahun ke depan sampai 2030. Kita membutuhkan sekitar per tahun, kalau dari (firma konsultasi) Kearney itu sekitar 600 ribu, tapi kita menghitungnya 453 ribu per tahun,” kata Bonifasius di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Kamis.
Ia mengatakan, kondisi ini berbanding terbalik dengan situasi di sektor tenaga kerja kasar (blue collar) di mana jumlah pelamar kerja jauh melebihi lowongan yang tersedia.
“Misalnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka peluang kerja sekitar 1.000-1.500 untuk keperluan tenaga kerja dan yang mendaftar puluhan ribu, 30 atau 35 ribu,” ujar Bonifasius.
Karena kebutuhan akan talenta digital masih terbilang tinggi, mahasiswa didorong bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja profesional, terutama di bidang AI, agar tidak diambil alih oleh tenaga kerja dari negara lain.
“Memang kita harus menggeser dari blue collar menjadi white collar (tenaga kerja profesional). Itu memang tidak mudah. Kami harapkan adik-adik (mahasiswa) ini yang akan mengisi ceruk pasar tersebut. Kalau tidak, negara tetangga kita yang akan mengisi kebutuhan talenta digital tersebut,” ujarnya.
Diketahui, Kemkomdigi menjalin kerja sama dengan Universitas Brawijaya dalam program AI Talent Factory untuk mencetak talenta digital baru di bidang kecerdasan artifisial (AI).
Bonifasius mengatakan program ini tidak hanya memberikan pelatihan kemampuan pemanfaatan AI di tingkat pemula, tetapi hingga tahap lanjutan yang dibimbing oleh para ahli di bidangnya.